TW's Blog

Jangan coba-coba jadi Whistle Blower

Posted in KASUS ILLEGAL LOGGING, KASUS PSDH-DR by paktw on July 12, 2011

Jangan Coba-coba Jadi Whistleblower

Oleh: Tony Wong

 

RENCANA Ketua Mahkamah Agung, Prof H Harifin A Tumpa untuk mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) untuk memberikan perhatian kepada peniup peluit atau Whistleblower sesungguhnya memberikan harapan baru agar penegakan hukum, khususnya  pemberantasan korupsi yang menggerogoti bangsa ini bisa diminimalisir.

Tapi, apakah harapan itu bisa kita titipkan sebaik-baiknya karena Mahkamah Agung (MA) memiliki ketulusan untuk menegakkan  hukum di negeri ini? Tunggu dulu.

Baiklah, dari pengapnya dinding penjara Lembaga Pemasayarakatan Klas IIA Sungai Raya, Pontianak, Kalimantan Barat, perkenankan saya menguraikan pengalaman pribadi saya sebagai seorang peniup peluit (whistleblower) atas kejahatan yang dilakukan para penegak  hukum di negeri ini, yang justru menjadi pesakitan dalam dua kasus pidana. Para penegak hukum, khususnya kepolisian yang  sakit hati lantaran saya membongkar kasus mafia illegal logging di Ketapang, Kalimantan Barat, berupaya mencari-cari  kesalahan saya. Targetnya, menangkap saya dan memenjarakan saya. Tak peduli benar atau tidak tuduhan yang dialamatkan  kepada saya, yang penting bisa menangkap dan memenjarakan saya. Ini pembungkaman secara khas yang dirancang secara khusus oleh mereka yang mengaku penegak hukum.

Kasus saya bermula pada tayangan Metro Realitas pada 26 Maret 2007 (saya sebagai salah satu Narasumber). Saya juga  melaporkan ke Mabes Polri praktek pembalakan liar di wilayah Ketapang, Kalimantan Barat. Para mafia ini dengan leluasa menjarah kayu di Kalbar untuk dijual ke Malaysia atau beberapa negeri lainnya. Jutaan kubik kayu dari bisnis haram itu tentu melibatkan banyak oknum di kepolisian, dan pasti, aparat yang memiliki kemampuan untuk menjerat mereka, juga kecipratan.

 

Kabareskrim Mabes Polri Komjen Bambang Hendarso Danuri atau BHD (kemudian menjadi Kapolri), langsung membentuk team pencari fakta yang diketua oleh Kombes Pol William Lameng turun ke TKP Bukit Lawang, tempat pusat pembalakan liar sebagaimana yang saya laporkan . Sebagai pejabat tinggi Polri, BHD tak perlu “kulonuwan” kepada Polda Kalbar dan Polres Ketapang. dan team menemukan dan menyita puluhan ribu kubit ilegal sebagaimana yang saya laporkan, baik yang ada dihutan maupun yang berada diberbagai Saw Mill di Kab Ketapang .

 

Apakah saya mendapatkan penghargaan? Boro-boro penghargaan, perlindungan hukum pun tidak ada. Demi Tuhan, saya tidak berharap penghargaan dari negara ini. Saya hanya ingin agar hukum ditegakkan dengan benar, adil dan transparan. Saya sangat cinta kepada bangsa dan negara ini.

 

Maka tibalah bencana bagi saya. Tepatnya pada pada 7 Mei 2007, saya ditangkap oleh Resmob Polda Kalbar di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, dengan tuduhan korupsi dana Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH-DR). Seperti teroris yang tak punya hak apapun saya ditahan. Saya meminta agar dilaporkan ke Polsek Metro Cengkareng dan meminta diproses di Mabes Polri, sementara Polda Kalbar memaksa membawa saya kembali ke Kalbar.

 

Dalam persidangan yang penuh dengan rekayasa dari kepolisian maupun kejaksaan, tak ada saksi yang bisa menjawab pertanyaan saya, selau terdakwa, untuk menjerat hukum kepada saya. Tudingan saksi dari pejabat BPKP yang menjelaskan nilai korupsi saya, justru tidak ada dasarnya.

 

Makanya, dengan tegas majelis hakim mengganjar vonis bebas murni kepada saya dari segala dakwaan itu. Karena memang dana PSDH-DR adalah urusan Perdata dan sudah saya lunasi.

 

Bebaskah saya? Tidak. Tiga langkah kaki saya keluar gedung Lapas Klas IIB Ketapang, ratusan anggota polisi dari Polres Ketapang sudah menghadang dengan surat penangkapan baru. Saya dituduh melakukan illegal logging. Tak cukup dengan itu, saya juga akan dijerat dengan UU Pencucian Uang, sehingga rekening saya dibekukan. Saya tidak saja dinistakan, tetapi juga dibunuh secara ekonomi. Meski belakangan rekening saya dibuka kembali.

 

Para polisi yang menangkap saya ini, termasuk Kapolres Ketapang AKBP A Sun’an Cs, akhirnya juga terbukti ditangkap sebagai pelaku illegal logging oleh Mabes Polri.

 

Saya menyadari sebagai target, objek sebagai sebuah dendam yang dipendam oleh aparat penegak hukum, yang bisa menangkap, menahan, menuntut dan memenjarakan. Maka dengan berbagai kasus yang didakwakan itu, tak diperlukan lagi kebenaran. Yang penting saya ditangkap dulu, dipenjarakan kembali.

 

Meski dari balik tembok penjara Ketapang saya tetap selalu mengirim  berita aktivitas Ilegal Logging di Ketapang yang makin tidak terkendali ke Mabes Polri dan media massa, khususnya TV.  Metro Realitas mengutip statement saya pada edisi 02 Januari 2008 yang mengatakan Ketapang Sarangnya Ilegal Logging.

 

Dampak statement saya itu, Mabes Polri pada Maret 2008 kembali  mengadakan operasi dadakan dan berhasil menangkap basah atas puluhan kapal yang penuh dengan muatan kayu ilegal ,  dari operasi itu, 24 orang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.  Di antaranya, 3 pemilik sawmill, 15 nahkoda kapal, 6 oknum dinas kehutanan, Dari unsur kepolisian, 7 ditetapkan sebagai tersangka (3 dari Polres Ketapang, 4 dari Polda Kalbar), di antaranya Kapolres Ketapang AKBP Akhmad Sun’an dan dicopot dari jabatanya karena tersangka.

 

Sementara, Kapolda Kalbar Brigjen Zainal Abidin Ishak dicopot dari jabatannya meski tetap diperlakukan istimewa karena tidak turut menjadi tersangka.  Perwira tinggi itu hanya dinyatakan lalai dalam menjalankan tugas dan pengawasan. Mabes Polri juga pasti enggan memerika apakah para petinggi di Polda Kalbar menerima atau tidak menerima setoran dari para mafia perambah hutan itu.

 

Fakta dominannya unsur dendam dan rekayasa dalam perkara saya dapat dilihat jelas dari proses pemeriksaan mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai dengan Mahkamah Agung, yang nyata-nyata terasa bahwa kasusnya dipaksakan untuk dijadikan perkara.  Kenyataan lain, dalam putusan pengadilan pertama sampai dengan MA pertimbangun hukum hakim banyak kontroversi dan kontradiktif  antara yang satu dengan yang lain.

 

Makanya, dalam kasus PSDH-DR, pada 21 Oktober 2008, MA mengabulkan kasasi JPU, putusan PN Ketapang dibatalkan, saya dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi.  Dan, MA merampas kemerdekaan saya selama empat tahun penjara dan pidana denda Rp200juta. Padahal, pasal 224 KUHAP tegas menyatakan bahwa putusan Bebas tak bisa di kasasi.  Tapi hal itu diterima MA.

 

Tak cukup dengan itu, perkara kedua yang ditimpakan kepada saya adalah kasus illegal logging terhadap objek kayu yang sudah disidangkan pada perkara terpisah yang lebih dulu. Perkara itu adalah Perkara yang berdiri sendiri , terpidananya sudah jelas dan putusannya pun inkrach, (terpidana tidak di Ekskusi ). Meski begitu agar saya tetap berada dalam tahanan, maka dimajukanlah kasus ini. Dan saya didakwa melanggar Pasal 50 ayat 3 huruf (f) Jo pasal 78 (5) UU No.41 Tahun 1999 tentang Jehutanan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dengan tuntutan 7 tahun kurungan penjara dan denda Rp20 juta subsidair enam bulan kurungan.

 

Namun, sekali lagi, karena targetnya menghukum saya dan membungkam saya, maka PN Ketapang memvonis saya 10 bulan penjara tanpa harus menjalani hukumannya (sebelumnya dituntut JPU 7 tahun penjara).  Di Tingkat PT Kalbar, vonis PN Ketapang itu dikuatkan.  Namun, jaksa tetap dan tidak puas atas hukuman itu dengan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.

 

Tepat sehari menjelang saya bebas dari dakwaan pertama, yaitu pada tanggal 30 Mei 2011 lalu, turunlah sebuah surat yang mengaku dari Mahkamah Agung. Saya dihukum lagi selama 5 tahun penjara.

 

Putusan Kasasi dari MA ini saya sangat merasakan banyak kejanggalannya. Pertama, disebutkan saya residivis dengan Putusan kasasi MA pada tanggal  21 Oktober 2008 atas kasus PSDH-DR. Padahal, pada halaman awal putusan MA ini menyebut saya ditahan sejak 27 Mei 2008. Kejanggalan lainnya, dalam putusan disebutkan keputusan MA itu diambil pada rapat permusyawaratan majelis MA pada tanggal 29 Nopember 2010 oleh M Hatta Ali SH MH sebagai ketua majelis. Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat (Minggu, 10 Juli 2010), website http://www.mahkamahagung.go.id masih menyebutkan bahwa kasus dengan perkara No.2280 K/Pid.Sus/2009 dinyatakan masih dalam proses pemeriksaan J. Sementara saya sudah dieksekusi kembali hanya  dengan surat fax 7 Jam  menjelang kebebasan saya pada tanggal 31 Mei lalu.

 

Lebih aneh lagi, tiga perkara saya yang dikirimkan ke MA (Kasasi kasus PSDH-DR, PK Kasus PSDH-DR dan kasus illegal logging)  selalu ditangani hakim agung yang bernama Hatta Ali SH MH.  Maka lengkaplah dugaan saya, MA seolah-olah seperti dikuasi oleh kelompok tertentu yang juga bisa saja diorder untuk melegalisasi hukuman bagi saya.

 

*

Saya hanya satu contoh orang kecil yang mencoba menggugat ketidakadilan dan pelanggaran hukum. Dua pejabat tinggi semacam Komjen Susno Duaji dan mantan anggota DPR RI, Agus Condro, juga dipenjara dengan kasus yang mirip-mirip dengan saya. Membongkar praktek pelangaran hukum di negeri ini. Lalu, para penegak hukum yang memiliki legalitas untuk menangkap, menahan, menyidang, menuntut dan memenjarakan siapa saja yang mengganggu kepentingan mereka.

 

Menghukum saya, lalu Komjen Susno Duaji dan Agus Condro, semakin memberikan gambaran betapa kuatnya pelaku kejahatan yang dilakukan oleh oknum pejabat yang diamanahi kekuasaan untuk menghukum orang lain. Seolah-olah mereka menyisipkan pesan yang berbunyi; Jangan Coba-coba jadi Wishtleblower.

 

Tapi, yakinlah. Meski saya ditahan, penjara tak cukup ampuh membungkam saya. Dalam keyakinan saya, akan banyak anak bangsa yang siap meledakkan ketidakadilan di negeri ini. Salam juang dari dalam pengapnya penjara!***

Comments Off on Jangan coba-coba jadi Whistle Blower